Tentang Mimpi
Waktu masih kecil saya pernah ngotot-ngototan dengan seorang dokter gigi. Menurut dia, mimpi manusia itu sama dengan mimpi anjing, tidak berwarna. "Tapi koq mimpi saya berwarna?" tanya saya dengan nada masih ngotot. "Ah nggak mungkin," katanya, "otak manusia tidak secanggih itu."
Yah, namanya juga anak kecil. Saya cuma bisa ngotot tapi gak bisa ngasih argumen ke si dokter gigi. Tapi sejak itu, saya jadi lebih aware dengan mimpi. Bukan hanya itu, saya juga berani ngotot lebih nekad, bahwa mimpi saya berwarna. Karena sesudah percakapan itu, saya bermimpi dililit pakai handuk MERAH TUA. Warna! Saya masih ingat pagi itu ketika bangun tidur, saya langsung teringat pada si dokter gigi. I do dream in colour!
Masalah dengan si dokter gigi berakhir di sini. Kasihanlah kalau mimpinya nggak full-colour. Kemarin dulu saya baca di majalah, memang ada orang yang bermimpi hitam putih, ada yang berwarna. That explains. Tapi yang paling lucu, ada orang yang pernah mimpi pake subtitle. Kocakkkkk!! Jadi mimpinya dalam Bahasa Inggris, tapi subtitle-nya pakai Bahasa Belanda. Katanya itu terjadi setelah dia seharian nonton tivi nyaris non-stop.
Sebenarnya yang paling asik adalah mimpi di mana kita sadar bahwa kita sedang bermimpi. Artinya kita bebas melakukan apa saja, wong cuma mimpi gitu loh. Ternyata ini bisa dilatih, lho. Namanya lucid dreams (kaya di film Vanilla Sky nih). Caranya, kita membiasakan diri untuk setiap kali bertanya pada diri sendiri, ini mimpi atau bukan? Jadi tiap hari kalau ingat, kita melatih pikiran untuk stop dan menganalisa situasi saat itu; mimpi atau bukan. Lama-lama ini akan jadi kebiasaan, dan dalam mimpi kita pun akan melakukan hal yg sama. Jika dalam mimpi kita sadar bahwa kita sedang bermimpi, there's no limit to what you can experience, man!
Waktu masih kecil saya pernah ngotot-ngototan dengan seorang dokter gigi. Menurut dia, mimpi manusia itu sama dengan mimpi anjing, tidak berwarna. "Tapi koq mimpi saya berwarna?" tanya saya dengan nada masih ngotot. "Ah nggak mungkin," katanya, "otak manusia tidak secanggih itu."
Yah, namanya juga anak kecil. Saya cuma bisa ngotot tapi gak bisa ngasih argumen ke si dokter gigi. Tapi sejak itu, saya jadi lebih aware dengan mimpi. Bukan hanya itu, saya juga berani ngotot lebih nekad, bahwa mimpi saya berwarna. Karena sesudah percakapan itu, saya bermimpi dililit pakai handuk MERAH TUA. Warna! Saya masih ingat pagi itu ketika bangun tidur, saya langsung teringat pada si dokter gigi. I do dream in colour!
Masalah dengan si dokter gigi berakhir di sini. Kasihanlah kalau mimpinya nggak full-colour. Kemarin dulu saya baca di majalah, memang ada orang yang bermimpi hitam putih, ada yang berwarna. That explains. Tapi yang paling lucu, ada orang yang pernah mimpi pake subtitle. Kocakkkkk!! Jadi mimpinya dalam Bahasa Inggris, tapi subtitle-nya pakai Bahasa Belanda. Katanya itu terjadi setelah dia seharian nonton tivi nyaris non-stop.
Sebenarnya yang paling asik adalah mimpi di mana kita sadar bahwa kita sedang bermimpi. Artinya kita bebas melakukan apa saja, wong cuma mimpi gitu loh. Ternyata ini bisa dilatih, lho. Namanya lucid dreams (kaya di film Vanilla Sky nih). Caranya, kita membiasakan diri untuk setiap kali bertanya pada diri sendiri, ini mimpi atau bukan? Jadi tiap hari kalau ingat, kita melatih pikiran untuk stop dan menganalisa situasi saat itu; mimpi atau bukan. Lama-lama ini akan jadi kebiasaan, dan dalam mimpi kita pun akan melakukan hal yg sama. Jika dalam mimpi kita sadar bahwa kita sedang bermimpi, there's no limit to what you can experience, man!
Reacties
++tongbem